Dilema
Politik Aceh
Menjelang Pilkada 2017, tensi politik di bumi Serambi
Mekah semakin memanas. Lebih kurang sekitar dua puluh kabupaten/kota akan ikut
dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada pesta demokrasi Aceh nanti. Para
kandidat, timses dan juga mayarakat aceh sepertinya sudah tidak sabar ingin
mengetahui siapa kandidat yang akan terpilih menjadi gubernur dan wakil
gubernur pada periode 2017-2022 mendatang.
Beberapa nama pasangan calon gubenur dan wakil gubernur
yang saat ini sedang booming
dibicarakan akan bersaing merebut kursi pemerintahan Aceh pada pilkada 2017 nanti
antara lain adalah pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah (Innova), pasangan Muzakkir
Manaf-TA Khalid (Maulid), pasangan Zaini Abdullah-Nasaruddin (Azan), pasangan
Abdullah Puteh-Sayed Mustafa dan pasangan Zakaria Saman-Teuku Alaidinsyah
(Zakat). Tarmizi A Karim yang baru-baru ini dikabarkan tidak jadi berpasangan
dengan Zaini Djalil pun akan tetap maju ke pilkada 2017 dengan mencari cawagub
baru.
Nama-nama bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang
tertera di atas, saat ini sedang ramai diperbincangkan publik di berbagai
tempat. Mulai dari obrolan di warung-warung kopi, media massa, media
elektronik, hingga ke dunia maya sekalipun, pembahasan ini tetap menjadi trending topik dalam masyarakat Aceh. Berkaca
pada kenyataan di atas, sepertinya persaingan yang terjadi antar pasangan calon
tersebut dari hari ke hari semakin ketat. Tidak jarang di media sosial terjadi
perdebatan-perdebatan antar pendukung dari masing-masing kandidat yang berujung
pada permusuhan dan aksi saling menghina pasangan yang menjadi lawan politik
kandidat yang mereka jagokan.
Dalam hal ini, tentunya masyarakat aceh akan semakin
dilema dalam menentukan calon pemimpin pilihan mereka. Terlebih para timses semakin
gencar mempengaruhi masyarakat agar menjatuhkan pilihannya pada kandidat
mereka. Berbagai strategi pun dilakukan demi meraih simpati dan suara dari
masyarakat aceh. Mulai dari mengkampanyekan program-program yang telah disusun
oleh masing-masig kandidat, aksi pengumpulan KTP, hingga sosialisasi gambar
kandidat melalui brosur, spanduk dan baliho yang di pasang di tempat-tempat
ramai.
Bukan hanya itu, beberapa pendukung yang kehabisan akal
dalam upaya memenangkan kandidat jagoan mereka pun mulai melakukan cara-cara
yang kotor. Mulai dari menyebar fitnah serta menjelek-jelekkan lawan politik
yang menjadi saingan kandidat jagoan mereka, menebarkan isu yang bisa memicu
ketakutan dalam masyarakat, seperti ancaman akan terjadi konflik bila kandidat
mereka tidak menang, hingga menyuap masyarakat awam agar mau memilih kandidat
mereka dengan selembar uang lima puluh ribu, sehelai jilbab, kain sarung, kaos, dan berbagai iming-iming lainnya.
Butuh
bukti, bukan janji
Melihat realita yang terjadi di atas, tidak dapat
dipungkiri jika suhu perpolitikan di Aceh kian hari kian memanas. Namun perlu
digarisbawahi bahwa sepanas apapun isu politik yang terjadi saat ini tidak begitu
penting jika dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh pada pesta demokrasi
nanti. Sebab yang menentukan nasib Aceh untuk lima tahun mendatang bukanlah
isu-isu yang terdengar hari ini, bukan pula perdebatan-perdebatan yang terjadi
dalam dunia perpolitikan sekarang, melainkan siapa yang akan terpilih menjadi
pemimpin Aceh nantinya.
Siapapun kandidat yang terpilih sebagai gubernur dan
wakil gubernur pada pilkada 2017 mendatang, diharapkan mampu membawa perubahan
untuk Aceh agar menjadi lebih baik. Selain itu mereka juga harus berkomitmen
untuk melaksanakan setiap program yang telah dijanjikan kepada masyarakat
sebelum mereka terpilih.
Selama ini masyarakat aceh sudah cukup menderita dengan
sistem pemerintahan yang tidak pro rakyat. Banyak janji manis yang diberikan
oleh pemerintah kita sebelum mereka memangku jabatan di kursi pemerintahan.
Sayangnya, sampai saat ini janji tersebut tidak bisa direalisasikan dengan
baik. Kepercayaan dan harapan rakyat pun kandas di tengah jalan, terkubur
bersama tipu daya politik.
Seiring berjalannya waktu, tanpa terasa masyarakat Aceh
kembali dihadapkan pada pilihan yang sulit. Setelah berkali-kali mereka memilih
dan menaruh harapan kepada calon pemimpin yang diyakini bisa membawa Aceh ke
arah yang lebih baik. Kini mereka kembali dirisaukan dengan sejumlah daftar
calon gubernur dan wakil gubernur yang harus mereka pilih pada pilkada yang
akan datang.
Melihat trauma politik yang dialami oleh masyarakat Aceh saat
ini, diharapkan siapapun calon yang terpilih dan diamanatkan untuk memimpin
Aceh nantinya tidak lagi mengecewakan hati masyarakat. Kesejahteraan masyarakat
merupakan hal utama yang harus diprioritaskan. Jangan hanya sibuk melakukan
pencitraan dan memikirkan kepentingan diri sendiri dan golongan tertentu saja. Karena
jabatan pemerintahan tersebut bisa diraih melalui suara dan dukungan rakyat. Maka
sangat tidak tahu malu bila pemerintah dengan mudahnya menggadaikan kepentingan
rakyat demi kepentingan pribadi.
Untuk para kandidat yang akan maju pada pilkada 2017
nanti, tak perlu lagi menarik simpati masyarakat dengan mengumbar janji manis,
karena masyarakat tidaklah bodoh. Mereka sudah terlalu sering ditipu dan kini
mereka sudah belajar dari pengalaman. Sudah cukup rakyat dibodoh-bodohi dengan berbagai
macam program yang sebenarnya tidak mungkin bisa direalisasikan.
Sekali lagi, masyarakat aceh tidaklah bodoh. Mereka tidak
perlu janji akan diberikan uang dengan cuma-cuma setiap bulan dari pemerintah. Mereka
juga tidak membutuhkan janji akan disediakan kapal pesiar untuk mempermudah
mereka berangkat haji ke tanah suci. Pun masyarakat aceh tidak mengharapkan
janji-janji lain yang diucapkan oleh para kandidat ketika mereka sedang
kampanye. Yang diinginkan oleh masyarakat aceh dari calon yang akan memimpin
Aceh nantinya adalah komitmen mereka sebagai pemimpin dalam menjalankan roda
pemerintahan di Aceh. Masyarakat butuh pembuktian terhadap program-program yang
telah dijanjikan sebelum mereka terpilih menjadi pemimpin. Masyarakat membutuhkan
sosok pemimpin amanah yang bisa mensejahterakan rakyat dan bisa membangun Aceh
menjadi lebih baik.
Jadilah
Pemilih Cerdas
Menanggapi isu politik yang kian hari derajatnya semakin
meningkat, rakyat harus kritis dan jeli membaca semua bakal pemimpin Aceh.
Jangan mudah tergiur dengan program-program yang dijanjikan oleh para kandidat
serta tidak terprovokasi dengan isu-isu yang disebarkan oleh para timses dan
simpatisan dari masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Meski banyak program-program menggiyurkan yang dijanjikan
oleh para kandidat, tapi sebagai masyarakat kita jangan langsung tergoda dengan
hembusan angin surga yang keluar dari mulut manis mereka. Kita harus jeli dalam
membedakan mana program yang bisa direalisasikan dan mana yang hanya buaian
semata. Sudah cukup kita dibodoh-bodohi oleh para pelaku politik dengan
berbagai janji dan iming-iming hadiah. Kini sudah saatnya kita berpikir secara
kritis.
Pilihlah pemimpin yang diyakini bisa memimpin dengan amanah,
bisa menjalankan roda pemerintahan dengan semestinya, bisa melaksanakan
pembangunan Aceh dengan baik, serta bisa mensejahterakan masyarakat aceh.
Jangan menjual harga diri kita kepada mereka yang rakus jabatan dengan selembar
uang 50.000, sehelai jilbab, sehelai sarung, maupun dengan sehelai kaos oblong.
Jika calon pemimpin seperti ini yang menjadi pilihan masyarakat, kelak jika
mereka terpilih maka rakyar akan rugi.
Logikanya, seorang pembisnis mau mengeluarkan modal yang
besar dengan harapan akan memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dari apa
yang mereka keluarkan. Begitu pula dalam dunia perpolitikan, para pelaku
politik mau menghabiskan sejumlah uang untuk menyogok masyarakat, tentu karena
ada maksud dan tujuan tertentu. Jika mereka terpilih nanti, mereka akan
menggunakan sejumlah uang rakyat untuk mengembalika modal yang sudah mereka
keluarkan pada masa kampanye. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika uang rakyat
yang mereka ambil jauh lebih besar dari modal yang mereka keluarkan sebelumnya.
Siapapun yang akan terpilih menjadi gubernur dan wakil
gubernur untuk periode 2017-2022 mendatang, tidak terlepas dari peran
masyarakat dalam menentukan pilihan mereka. Amanah atau tidaknya pemimpin yang
menjalankan roda pemerintahan di Aceh sangat bergantung terhadap kekritisan
masyarakat aceh itu sendiri dalam membaca situasi politik. Oleh karena itu,
mari kita menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Jangan mudah terjebak oleh
provokasi dan ancaman-ancaman dari oknum-oknum tertentu. Pilihlah pemimpin yang
sesuai dengan hati nurani, bukan karena paksaan. Semoga dengan kerjasama semua
pihak, pesta demokrasi pada 2017 mendatang bisa berjalan dengan baik dan
kandidat yang terpilih nantinya benar-benar bisa menjadi wakil rakyat dalam
mewujudkan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat aceh.
Note: Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis Opini Pekan Politik yang diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh